Beranda | Artikel
Menunda Khitan Sampai Besar Dan Hukum Acara Syukuran Khitan
Minggu, 16 Desember 2012

Kebiasaan di Indonesia seperti ini, yaitu melakukan khitan anak-anak mereka saat berumur seusia anak SD bahkan ada juga yang SMP. Sedangkan jika kita lihat hadits-hadits dan petunjuk Islam bahwasanya usia khitan adalah ketika bayi berumur 7 hari atau ketika masih kecil sekali. Dan bagaimana juga hukum acara walimah khitan yang sering dilakukan di masyarakat kita?

 

Waktu disyariatkannya khitan

Waktu untuk untuk berkhitan memang masih diperselisihkan ulama, ada pendapat yang mengatakan hari kelahiran, hari ketujuh atau ketika berusia tujuh tahun. Adapun yang lebih tepat adalah boleh kapan saja asalkan tidak melebihi usia baligh.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وَاخْتُلِفَ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُشْرَعُ فِيهِ الْخِتَانُ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ لَهُ وَقْتَانِ وَقْتُ وُجُوبٍ وَوَقْتُ اسْتِحْبَابٍ فَوَقْتُ الْوُجُوبِ الْبُلُوغُ وَوَقْتُ الِاسْتِحْبَابِ قَبْلَهُ

Diperselisihkan waktu disyariatkannya khitan. Al-mawardi berkata, “Khitan itu mempunyai dua waktu, Waktu wajib dan waktu mustahab (sunnah). Waktu wajib adalah ketika usia baligh, sedangkan waktu mustahab adalah sebelum baligh”[1]

 

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah berkata,

واختار بعضهم الختان في يوم الولادة، وقيل في اليوم السابع، فإن أخر ففي الأربعين يوما، فإن أخر فإلى سبع سنين، وهو السن الذي يؤمر فيه بالصلاة، فإن من شروط الصلاة الطهارة، ولا تتم إلا بالختان

“Sebagian memilih dilakukan khitan ketika hari lahir, ada juga pendapat ketika berusia tujuh hari dan jika ingin ditunda maka pada hari ke-40 dan jika masih ingin ditunda lagi maka saat berusia tujuh tahun yaitu umur diperintahkan agar melaksanakan shalat karena salah satu syarat shalat adalah thaharah (suci). Dan hal ini tidak sempurna kecuali dengan berkhitan.”[2]

 

Boleh menunda khitan tetapi lebih baik menyegerakan

Dalil boleh menunda adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

عن سعيد بن جبير قال: سئل ابن عباس: مثل من أنت حين قبض النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: أنا يومئذ مختون، قال: وكانوا لا يختنون الرجل حتى يدرك

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, Ibnu Abbas pernah ditanya, “Seperti apa dirimu ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat ?”. Ia menjawab, “Aku pada waktu itu telah dikhitan. Dan mereka (para shahabat) tidaklah mengkhitan seseorang hingga ia baligh” [3]

 

Akan tetapi lebih baik menyegerakannya karena lebih segera menunaikan amal. Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan”. [Al-Baqarah: 148]

 

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” [Al-Imran:133]

 

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah berkata,

الأفضل الختان في الصغر ففيه مصلحة وهي أن الجلد بعد التمييز يغلظ ويخشن، فلذلك جوزوا الختان قبل التمييز لرقة الجلدة وسهولة قطعها، ولأنه في الصغر لا حكم لعورته، فيجوز كشفها ولمسها لمصلحة، ثم إن ذلك أيضا أسهل لعلاجه ومداواة الجرح وبرئه سريعا… فيستحب أن لا يؤخر عن وقت الاستحباب، أما وقت الوجوب فهو البلوغ والتكليف فيجب على من لم يختن أن يبادر إليه بعد البلوغ ما لم يخف على نفسه

“Yang afdhal (lebih baik) khitan dilakukan ketika kecil karena ada mashlahat yaitu (jika dilakukan saat besar) kulit (pembungkus penis) setelah usia tamyis (sekitar 7 tahun) akan mengeras dan menebal. Oleh karena itu khitan dilakukan sebelum tamyis karena masih lunaknya kulit dan mudah untuk dipotong. Dan juga karena ketika kecil belum ada hukum aurat, maka boleh membuka dan menyentuhnya untuk kemashlahatan. Kemudian juga lebih mudah diobati dan luka lebih cepat sembuh.

Disunnahkan agar tidak mengakhirkan khitan dari waktu yang dianjurkan, adapun  (batasan) waktu wajib adalah usia baligh dan taklif (wajib menjalani beban ibadah). Maka wajib bagi yang belum berkhitan agar beresegera sebelum mencapai usia baligh selama tidak ada yang dikhawatirkan pada dirinya.”[4]

 

Dan  wajib sesegera mungkin khitan jika telah mencapai usia baligh karena itu adalah waktu wajib. Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkhitan ketika berusia 80 tahun.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً

“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.”[5]

 

Boleh melakukan walimah (syukuran) khitan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata,

وأما ” وليمة الختان ” فهي جائزة: من شاء فعلها ومن شاء تركها

Adapun walimah (syukuran) khitan, maka hukumnya mubah (diperbolehkan). Barangsiapa yang menginginkan maka boleh ia melakukannya dan boleh juga meninggalkannya.”[6]

 

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah berkata,

أما عمل الوليمة على الختان فلا بأس بها وهي من الولائم القديمة قبل الإسلام وتسمى الإعذار، وإن كان الناس في هذه الأزمنة قد تغافلوا عنها، فليست سنة مؤكدة كالعقيقة، والله أعلم.

“Adapun acara walimah (syukuran) maka tidak mengapa, hal tersebut adalah termasuk acara walimah di zaman dahulu sebelum islam yang dinamakan i’dzaar , walapun manusia di zaman sekarangtelah melupakannya. Acara walimah tersebut bukan sunnah yang ditekankan sebagaimana aqiqah.”[7]

 

Dan walimah khitan termasuk dalam keumuman agar kita menghadiri acara walimah jika diundang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا دعا أحدكم أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.

“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya, baik undangan pernikahan atau yang semisalnya[8]

 

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu masjid

2 Shafar 1434 H

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

 

 

 

 

 


[1] FathulBari 10/342, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Syamilah

[2] Sumber: http://ibn-jebreen.com/?t=books&cat=1&book=49&toc=2188&page=2024&subid=735

[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (11/90-Al-Fath), Imam Ahmad (1/264-287-357)

[4] Sumber: http://ibn-jebreen.com/?t=books&cat=1&book=49&toc=2188&page=2024&subid=735

[5] Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298-Al-Fath), Imam Muslim (2370), dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.

[6] Majmu’ Al-Fatawa 32/206, Majma’ Malik Fadh, 1416 H, syamilah

[7] Sumber: http://ibn-jebreen.com/?t=books&cat=1&book=49&toc=2188&page=2024&subid=735

[8] HR. Abu Dawud no. 3738

 

 


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/menunda-khitan-sampai-besar-dan-hukum-acara-syukuran-khitan.html